Perlunya Cyberlaw
Permasalahan yang sering muncul adalah bagaimana menjaring berrbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Banyak kasus yang membuktikan bahwa perangkat hukum dibidang TI masih lemah. Seperti contoh, masih belum diakuinya dokumen elektronik secara tegas sebagai alat bukti oleh KUHP. Hal tersebut dapat dilihat pada UU No 8/1981 Pasal 184 ayat 1 bahwa undang-undang ini secara definitive membatasi alat-alat bukti hanya sebagai keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa saja. Demikian juga dengan kejahatan pornografi dalam internet, misalnya KUH Pidana pasal 282 mensyaratkan bahwa unsur pornografi dianggap kejahatan jika dilakukan di tempat umum. Hingga saat ini, di negara kita ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat cyber crime. Untuk kasus carding misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku kejahatan komputer dangan pasal 363 soal pencurian karena yang dilakukan tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
Perlunya Dukungan Lembaga Khusus
Lembaga-lembaga khusus, baik milik pemerintah maupun NGO (Non Government Organization), diperlukan sebagai upaya penanggulangan kejahatan di internet. Amerika Serikat memiliki komputer Crime dan Intellectual Property Section (CCIPS) sebagai sebuah divisi khusus dari U.S. Department of Justice. Institusi ini memberikan informasi tentang cyber crime , melakukan sosialisasi secara intensif kepada masyarakat, serta melakukan riset-riset khusus dalam penanggulangan cyber crime. Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki IDCERT (Indonesia Computer Emergency Response Team). Unit ini merupakan point of contact bagi orang untuk melaporkan masalah-masalah keamanan komputer.
0 komentar:
Posting Komentar